Walhi Kalbar Pantau Restorasi Gambut dengan Aplikasi Android di 5 KHG
Untuk
memastikan sejauhmana upaya pemulihan ekosistem
gambut, Walhi Kalimantan Barat melakukan pemantauan aktivitas restorasi dengan
menggunakan aplikasi Avenza Maps dan
juga OsmAnd. Kalimantan Barat dengan
luas kawasan gambutnya mencapai 1,7 juta hektar dengan hutannya yang masih
tersisa kerap menjadi sumber bencana asap akibat karhutla, termasuk di wilayah
Ketapang dan Kayong Utara.
“Aktivitas
pemantauan ini dilakukan di 5 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang berada di
Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara” ungkap Andreas S Illu, Kadiv
Advokasi dan Jaringan Walhi Kalbar.
Adapun
lima KHG tersebut diantaranya KHG Sungai Pawan-Sungai Tolak, KHG Sungai
Durian-Sungai Kualan, KHG Sungai Tolak-Sungai Siduk, KHG Sungai Matan-Sungai
Rantau Panjang, dan KHG Sungai Matan-Sungai Semandang.
“Kelima
KHG ini dipilih karena memiliki riwayat kebakaran hutan dan lahan serta menjadi
target restorasi ekosistem gambut oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove
(BRGM)” tambah Andre.
Menurutnya,
pemantauan dilakukan oleh 10 orang anak muda yang sebelumnya sudah dilatih oleh
Walhi Kalimantan Barat yang terdiri atas 4 orang perempuan dan 6 diantaranya
laki-laki yang dibagi menjadi 5 kelompok. Proses pemantauan ini juga melibatkan
masyarakat lokal sebagai pemandu di lapangan.
Menggunakan
metode pemantauan berbasis android dengan menggunakan aplikasi Avenza Maps dan
juga OsmAnd, pengecekan kondisi infrastruktur restorasi gambut dilakukan. Kedua
aplikasi ini pertama kali digunakan Walhi Kalbar untuk melakukan pemantauan.
Joko
Waluyo, Fasilitator Pelatihan Pemantauan menjelaskan bahwa metode yang
digunakan saat ini lebih mudah dan tingkat efisiensinya tinggi. Karena
data-data yang diperoleh di lapangan bisa langsung dikirim secara online.
“Karena
model pemantauan ini online semua, meskipun kawan-kawan tim belum datang kita
sudah bisa mendapatkan data, karena data dikirim secara online. Metode yang
kita gunakan saat ini sangat mempermudah dan tingkat efisiensi kita lebih baik
karena data langsung dikirim dan kita langsung bisa koreksi,” pungkasnya saat
mengisi sesi Focus Group Discussion
(FGD) di Aston (18/04).
Kelebihan
lain dari aplikasi pemantauan ini ungkap Joko adalah mampu menghemat waktu,
pendanaan serta mudah dibawa saat berada di lapangan. Karena tidak memerlukan
alat bantu lain. Hanya saja saat proses mengunggah data memerlukan koneksi
sinyal internet yang memadai. “Alat dan cara pemantauan kali ini bisa
direkomendasikan jika melakukan kegiatan yang sama ke depannya. Metode ini
lebih efisien,” sambungnya.
Selain
mengecek infrastruktur restorasi ekosistem gambut, dilakukan juga wawancara
kepada pemerintah desa, tokoh masyarakat, perwakilan perempuan serta masyarakat
untuk mengetahui sejauh mana dampak yang diperoleh setelah adanya aktivitas
pembangunan infrastruktur pembasahan tersebut. Proses pemantauan restorasi
gambut tersebut berlangsung selama 1 minggu sejak tanggal 13 April sampai
dengan 20 April 2022.
[Tim WK/MA]