Kakek Ingka bersama cucunya saat memanen air nira di Kampung Tangkit |
Enau atau aren, dalam bahasa Latin dikenal dengan arenga pinnanta dari famili arecaceae. Merujuk Asosiiasi Keluarga Gizi FKM UI, aren juga dikenal dengan berbagai nama seperti nau, peluluk, kabung, ijuk, taren, akol, akere, moka, tuwa, dan lain lain. Bangsa Belanda mengenal aren sebagai arenpalm atau zuikerpalm. Sedangkan bangsa Jerman menyebutnya zuckerpalme dan dalam bahasa Inggris disebut sugar palm atau gomuti palm. Selain itu, lain pula istilahnya menurut Dayak Kanayatn di Kalbar yang menyebutnya ano dan atau oleh orang Seberuang di kabupaten Sintang mengenalnya dengan sebutan palah.
Dari cara tumbuhnya, tumbuhan aren atau palah ini memiliki ketinggian hingga lebih dari 20 meter dengan diameternya hingga mencapai 60an centimeter. Bentuk daunnya majemuk menyirip yang menempel pada bagian dahannya yang menjulang ke atas. Bila ditelusuri asal usulnya, tumbuhan aren berasal dari wilayah Asia menyebar alami mulai dari India timur, sebelah barat Asia hingga ke Malaysia, Filipina termasuk di Indonesia.
Salah satunya ada di wilayah komunitas Masyarakat Adat Dayak Seberuang di Km 62 tepat dalam wilayah Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat – Indonesia.
Selain buahnya yang dikenal sebagai makanan satwa liar di alam seperti aneka jenis musang yang dalam bahasa tempatan menyebutnya nturun, tumbuhan palah juga memiliki aneka kegunaan bagi komunitas. Bagian serabut hitam yang menyelubungi pohon enau atau dikenal dengan ijuk juga lidinya, dapat digunakan untuk membuat penyapu. Sedangkan air nira dari tangkai bunga yang kelak disadap dapat dijadikan gula bila tiba waktunya untuk disadap.
Paulus Ingka (73 th) dan Paulina Puguk adalah warga di Kampung Tangkit yang pernah menyadap dan mengolah air nira menjadi gula palah. Saat ditemui di kampung yang sebagian besar wilayahnya dimasuki wilayah hutan lindung tersebut, generasi lapis ke-7 dari leluhurnya Singa Ruanda tersebut menceritakan pengalamannya menyulap enau menjadi gula.
Menurutnya, sekitar empat bulan sejak tangkai bunga keluar dari batangnya, maka sudah boleh dipersiapkan untuk memulai tahapan awal persiapan penyadapan. Pada bagian tangkai bunga enau yang kelak akan dipanen ditata terlebih dahulu termasuk dengan memasang sejumlah tali agar tangkai bunga tidak mudah patah atau terlepas. Serta menyiapkan tangga dari aneka bahan kayu sekitar untuk memudahkan naik saat menyadap.
Setiap hari terutama pada pagi dan sore hari, tangkai bunga dipukul merata seperlunya kemudian diayun perlahan selama beberapa saat. Sejak mulai dipukul hingga bunganya mekar, maka tandan bunga enau tadi siap dipotong dari tangkainya untuk selanjutnya disadap.
Lebih lanjut, Ingka menuturkan agar setelah dipotong, bagian pangkal dahanya dioles ragi dan sedikit nasi lalu ditutup rapat untuk dibiarkan selama sehari semalam. Setelah waktunya tiba, maka dahan enau tadi siap disadap untuk diambil airnya. “Untuk merangsang agar airnya mengalir deras, biasanya pada bagian tangkainya diolesi jahe atau cabe. Sementara, agar air enau yang keluar tidak mudah asam atau basi, maka pada wadah penampungan air nira biasanya dimasukkan daun kandis muda” ungkap Paulus Ingka.
Dikatakan sosok yang juga tetua adat tersebut, jika sudah masa panen, maka pagi dan sore hari airnya akan diambil dari wadah penadah pada batang utama. Demikian seterusnya proses panennya. Jika tidak segera dipindahkan, maka air nira yang tertampung akan mubajir tertumpah.
Untuk menjadikan air nira menjadi gula arena tau gula palah, maka air yang telah dipanen selanjutnya dituangkan dalam kuali untuk dimasak dengan waktu selama 4 hingga 5 jam. Saat airnya sudah mulai mengental, maka cetakan yang dikenal dengan ceret akan segera diisi. Dari proses ini, maka gula palah alah komunitas dapat dihasilkan.
“Prosesnya air palah yang kita ambil dari batangnya kita masak dalam kuali selama beberapa jam, bila sudah agak mengental nanti kita tuangkan dalam cetakan. Setelah kering dank eras, maka gula palah siap dipindahkan” ungkap Paulina Puguk.
Bila melihat proses pembuatan gula palah yang dilakukan ala komunitas di kampung Tangkit, secara proses masih menggunakan peralatan seadanya dengan keterbatasan yang ada. Terlebih selama ini proses produksi gula palah oleh komunitas masih sebatas aktivitas sambilan yang tidak sungguh-sungguh ditekuni. Hanya bagi mereka yang betah dan memiliki keterampilan menyadap palah yang bisabiasanya melakukannya. Namun demikian, untuk pemasaran gula palah yang dihasilkan selama ini masih belum ada kendala. Terlebih gula aren yang dihasilkan selain laku untuk dipasarkan sekitar desa, juga biasanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Namun demikian, dari sisi kualitas tentu jauh lebih baik, sebab diprosuksi dari, oleh dan untuk komunitas yang tanpa campuran bahan pengawet lainnya.
Nah bagi Anda yang penasaran bagaimana komunitas menyulap air nira menjadi gula enau, praktik pembuataan gula palah di komunitas ini dapat menjadi peluang usaha komunitas yang menjanjikan bila ditekuni. Terlebih bila potensi yang ada dapat dibantu untuk dikembangkan melalui kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat.
(HA, Redaksi Wahana Kita)