Hendrikus Adam, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat saat memaparkan hasil pemantauan mengatakan bahwa seperti tidak ada negara selama ini atas upaya pemulihan gambut. Sementara sejumlah aturan soal gambut dan legitimasi izin usaha berbasis hutan dan lahan yang menyebabkan ekosistem gambut rusak jelas diterbitkan negara melalui kewenangan aparatur terkait.
“Gambut memiliki peran penting untuk kehidupan sebagai pelestarian keanekaragaman hayati, pejaga tata air, penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen dan penyeimbang iklim. Namun saat investasi berbasis hutan dan lahan diberi izin berusaha dan merusak gambut lindung, negara seperti tidak ada” tegas Hendrikus Adam.
Padahal menurut Adam, Pasal 30 (1) PP 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut jelas menyebut bahwa pemilik usaha wajib melakukan pemulihan sebagaimana izin lingkungan. Sementara pasal 31A lebih lanjut menegaskan bahwa penanggungjawab usaha yanh tidak melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut sebagaimana pasal 30, dalam jangka 30 hari sejak diketahui kebakaran, maka Menteri-Gubernur-Bupati/Walikota dapat berkoordinasi dalam pemulihan dengan pembiayaan dibebankan pada penanggungjawab usaha. Hal serupa diatur dalam pasal 10 PermenLHK P.16 tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.
Hendrikus Adam menyebut, 2015 merupakan kejadian kebakaran gambut hebat utamanya pada 7 provinsi di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. Dalam lima tahun terakhir, WALHI Kalimantan Barat terlibat aktif melakukan pemantauan untuk memastikan upaya pemulihan kerusakan ekosistem gambut di Kalimantan Barat.
Adapun pemantauan tahun 2024 dilakukan pada Januari-Maret lalu untuk mengetahui kondisi terkini dan perubahan Kawasan Hidrologis Gambut Sungai Durian – Sungai Kualan (SDSK) terhadap tiga perusahaan pada Kawasan KHG tersebut: PT Kalimantan Agro Lestari (KAL), PT Mayawana Persada (MP) dan PT Jalin Vaneo (JV).
Ruang lingkup pemantauan yang dilakukan Walhi Kalbar terdiri dari 3 variable kelestarian KHG, yaitu: variabel lahan, hidrologis dan variabel masyarakat dengan sejumlah indikator meliputi pH, kelembaban, perubahan tutupan lahan, vegetasi, kondisi tanah, lebar kanal, tinggi muka air tanah, pengetahuan mengwnai perusahaan, implementasi pencegahan karhutla, kondisi sosial dan konflik di lapangan.
Dari pemantauan juga dapat dipastikan bahwa ketiga pemilik konsesi di KHG SDSK secara sengaja merusak ekosistem KHG SDSK untuk tujuan perluasan lahan kebun, memastikan tanaman komoditas unggulannya tidak terendam dan juga merusak penikmatan hak asasi komunitas lokal dan para buruh.
Perusakaan ekosistem yang terjadi diantaranya mengeringkan air gambut, mengubah kawasan gambut lindung dan eks lahan terbakar menjadi kawasan budidaya sawit dan atau albasia, merampas dan atau menghilangkan akses penduduk terhadap tanah dan sumber penghidupan lain, mencemari ekologi lokal dengan limbah sawit atau albasia, dan menunda pemenuhan hak-hak warga.
“Sejumlah fakta yang ditemukan mengkonfirmasi bahwa negara seperti membiarkan saja tindakan-tindakan perusakan ekologi dan hak asasi manusia di KHG SDSK oleh perusahaan” tambah Hendrikus Adam.
Aturan-aturan perlindungan lingkungan (KHG SDSK) diabaikan dan perusahaan bersikukuh terus membuka areal tutupan hutan gambut untuk memperluas kebun sawit atau pun albasia, termasuk mengalirkan air gambut dalam kanal- kanal buatan agar tanaman komoditasnya tidak terendam air.
“Pembiaran ini mengindikasikan ketiga perusahaan tersebut memiliki kekebalan dari hukum lingkungan dan hak asasi manusia nasional” tutup Adam.
Selain Direktur Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, juga turut menjadi narasumber Khairil Anwar dari Dinas LHK Kalbar dan Rosi Widia NA, Sekretaris TRGD Kalbar.